Liputan6.com, Jakarta - Malam itu, Encoh sedang asyik bersantai di teras rumahnya. Tanpa aba-aba, air laut tiba-tiba melewati bibir pantai. Tsunami senyap di Selat Sunda langsung melahap semua benda yang ada di daratan.
Ratusan orang meninggal dunia akibat tsunami yang menerjang Banten dan Lampung, pada Sabtu 22 Desember malam. Encoh bercerita, kejadian tersebut terjadi pada pukul 20.30 WIB, saat dirinya berada di rumah yang jaraknya sekitar 10 meter dari tepi pantai.
"Awalnya saya lagi duduk, saya lihat pertama tuh air itu segini (betis). Keduanya hampir sepinggang," ujarnya saat ditemui di Jalan Raya Karang Bolong, Senin (24/12/2018).
Namun, selang hampir 15 menit air datang lebih besar hingga ketinggian 8 meter.
"Pas ketiga, saya lihat itu (air) di tengah hampir 7 sampai 8 meter. Saya teriak 'tsunami-tsunami', warga pada lari. Saya lari ke gunung sama suami naik motor, warung saya tinggalin, saya saja enggak pakai sendal," jelasnya.
Ia mengaku sudah curiga ada bencana datang sejak sore harinya. Kecurigaanya didasarkan pada kondisi Anak Gunung Krakatau.
"Sore tuh saya sudah curiga, gunung Krakatau (anaknya) keluarin asap hitam pekat, malamnya itu percikan api kaya kembang api," ungkap dia.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan tsunami yang menerjang Banten dan Lampung dipicu oleh erupsi vulkanik Anak Gunung Krakatau. BMKG mencatat, kekuatan tremor Anak Gunung Krakatau yang memicu tsunami memiliki kekuatan setara magnitudo 3,4.
"Ada tremor setara magnitudo 3,4 yang epicenternya ada di Anak Gunung Krakatau," ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di kantornya, Senin (24/12/2018).
Guncangan vulkanik Anak Gunung Krakatau, kata dia, telah memicu terjadinya collapse pada lereng gunung. Berdasarkan citra saletelit, collapse lereng tersebut luasnya 64 hektar.
"Volume collapse ini yang menjadi tsunami di pantai pada pukul 21.27, atau 24 menit kemudian (setelah erupsi Anak Gunung Krakatau) dengan tinggi 0,9 meter di empat titik di Banten, Serang, Bandar Lampung," ungkapnya.
"Jadi tsunami ini berkaitan dengan erupsi vulkanik," Dwikorita menegaskan.
Ia mengungkapkan penyebab tidak terdeteksinya tsunami pada Sabtu, 22 Desember 2018 itu. "Apa yang kami sampaikan adalah tsunami yang berkaitan dengan aktivitas vulkanik, oleh karena itu tidak dapat terpantau dengan sensor-sensor gempa tektonik," kata Dwikorita saat memberikan keterangan persnya di kantor BMKG, Jakarta, Senin (24/12/2018).
Menurut Dwikorita, sebagian besar bencana tsunami yang terjadi di Indonesia akibat gempa tektonik. Sedangkan gempa vulkanik jarang sekali terjadi, sehingga tidak terpantau oleh sensor-sensor gempa yang dimiliki BMKG.
"Karena bukan gempa tektonik, sehingga informasi itu, kita tidak punya akses. Sehingga itulah yang terjadi," ucap Dwikorita.
Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan, ada tiga hal yang dapat memicu gelombang tsunami di Selat Sunda. Tiga hal itu adalah gempa bumi bawah laut, gunung api bawah laut dan gerakan tanah longsoran bawah laut.
Menurut Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah PVMBG Badan Geologi, Agus Budianto, pada peristiwa tsunami di Anyer, Banten, belum diketahui secara pasti penyebabnya. Meski Badan Penelitian Pengembangan Teknologi (BPPT) telah melansir citra satelit yang menunjukan adanya longsoran diduga dari badan Gunung Anak Krakatau.
Longsoran itu diperkirakan menjadi penyebab tsunami. "Nah ini kan harus dipastikan, longsoran karena aktivitas gunung api atau longsoran itu terjadi tersendiri," kata Agus.
Agus menyebutkan, verifikasi jenis longsoran yang terjadi di Gunung Anak Krakatau, harus dilakukan.
PVMBG menyatakan longsoran bawah laut pernah terjadi saat letusan gunung api di Italia yang materialnya masuk ke laut. Begitu pula saat erupsi Gunung Krakatau tahun 1883, Gunung Tambora tahun 1815.
https://www.liputan6.com/news/read/3855910/menguak-sebab-tsunami-senyap-di-selat-sunda
0 Comments:
Post a Comment