'Langkah kita masih ada di kuala bubon, Namun ombak jua yang menghapus'.
Dua kalimat di atas adalah petikan puisi Oneh yang berjudul 'Kutambat Kapal di Dermaga mu'. Puisi tersebut merupakan puisi perdana sekaligus menjadi bara pemantik yang mendorong seorang Oneh untuk mengabdikan hidupnya kepada puisi.
Di samping pekerjaannya sebagai penyapu jalanan, Oneh masih terus merangkai puisi. Si Penyair Kumuh ini nyatanya punya nama yang cukup mentereng di antara para sastrawan, baik di dalam hingga di luar Aceh.
Puisinya mendapat tempat di berbagai buku sastra. Beberapa diantaranya, Antologi Puisi Seulawah, Sekilas Pintas, Nuansa dari Pantai Barat, Putroe Phang, dan Ziarah Ombak.
Selanjutnya, Ensiklopedi Penulis Indonesia Jilid 4 yang terbit di Jawa Timur, Ensiklopegila Koruptor, Puisi Menolak Korupsi, Memo untuk Wakil Rakyat Edisi Forum Sastra Surakarta, Antologi Puisi Pasie Karam, dan Antologi Puisi Untaian Sastra Bumi Teuku.
Terakhir, pada tahun 2018, antologi puisi miliknya diterbitkan oleh salah satu penerbit dari luar Aceh, berjudul Kumpulan Puisi Amuk. Saat ini, dia juga sedang menggarap novel yang mengangkat tema konflik yang terjadi di Aceh pada masa lalu.
Selain itu, puisi miliknya juga sering terbit di berbagai media cetak dan online, baik di dalam maupun di luar Aceh. Selain menulis puisi, Oneh juga menyukai dunia teater. Pada tahun 1994 silam, dia pernah ikut serta dalam event kolosal Budaya Aceh 'Adat Perkawinan Aceh Barat', dan drama 'Tewasnya Teuku Umar' yang digelar di Gedung Graha Bakti Yudha Kejagung, Jakarta.
Insting sastra seorang Mustiar AR terasah lebih tajam ketika dia bertemu dengan salah seorang penyair kawakan dari Bumi Teuku Umar, bernama Iskandar Nusa alias Isnu Kembara. Isnu Kembara juga punya jasa melambungkan nama Oneh ke seorang pimpinan surat kabar lokal yang ada di Aceh saat itu.
"Saat itu, awal kita bertemu karena saya jualan disamping tempat pangkas Isnu Kembara," demikian awal pertemuan Oneh dan Isnu Kembara yang berakhir pada persahabatan abadi keduanya. Oneh sangat menghormati Isnu Kembara. Pun sebaliknya, Isnu Kembara begitu. Kerap keduanya saling tegur sapa melalui 'memo' di puisi yang mereka tulis.
Kendati kepiawaiannya dalam mengelaborasi rasa gundah menjadi rangkaian kata-kata, sudah mumpuni, namun, oleh seorang pimpinan surat kabar yang pernah diperkenalkan Isnu Kembara ke Oneh, pernah berpesan, Oneh tidak boleh menjadi pabrik puisi.
"Saat itu, pesannya, kira-kira begini: karena puisi adalah endapan kegundahan, dia hanya diluapkan pada waktu yang tepat," Oneh mengulang harapan si pimpinan surat kabar itu.
Sempat Hilang Saat Tsunami
Oneh sempat dikira menjadi salah satu aset sastra dari Meulaboh yang ikut tewas digulung ombak saat Aceh dilanda gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 silam. Karena tak ada kabar berita, keluarga dan rekan-rekan sastrawannya sudah pasrah, menganggap Oneh sudah tiada.
Namun, lelaki yang menamatkan sekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Meulaboh itu, selamat dan sehat walafiat. Kiranya Tuhan masih memberi waktu baginya untuk terus berpuisi.
"Puisi itu ungkapan yang tidak mampu diungkapkan secara verbal. Ketika bahasa pasar tidak terpenuhi, maka berbicaralah dengan puisi", begitulah puisi menurut Oneh.
Demikian Oneh, lelaki yang saban pagi dan petang menyibak kabut, menerabas debu, diantara sampah-sampah milik para penyampah. Dia dengan sapu dan serokan, melanjutkan hidup, dan bernafas dengan puisi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
0 Comments:
Post a Comment