Liputan6.com, Roma - Seorang Uskup Agung di Munich (Jerman), Kardinal Reinhard Marx, mengatakan kepada 190 pemimpin gereja yang berkumpul di Roma bahwa prosedur untuk menyelidiki dan menghukum para pendeta pedofil sering diabaikan.
"Arsip yang mendokumentasikan perbuatan mengerikan dan mengungkapkan identitas pelaku kejahatan seksual pada anak, telah sengaja dihancurkan, atau bahkan tidak dibuat," katanya, seperti dikutip dari ABC Indonesia, Minggu (24/2/2019).
Komisi kerajaan Australia menemukan "asas kerahasiaan berlaku" di Gereja Katolik, dan dokumen tentang tuduhan pelecehan seksual anak seringkali tidak disimpan.
Peter Isely, dari Ending Clergy Abuse, mempertanyakan apakah para kardinal telah merujuk para uskup yang menutupi kejahatan ini kepada otoritas sipil. "Mereka telah menghancurkan bukti kejahatan terhadap anak-anak yang diperkosa. Kardinal Marx tahu siapa para pelaku itu," ucap Isely.
Sementara itu, Vatikan dianggap memiliki berbagai lembaga untuk menyelidiki kejahatan pelecehan seksual anak ini, tetapi Kardinal Marx mengkritik penggunaan "asas rahasia kepausan" dalam beberapa kasus.
"Gereja tidak boleh beroperasi di bawah standar kualitas administrasi peradilan publik, jika tidak ingin menghadapi kritik bahwa gereja memiliki sistem hukum yang lebih rendah yang berbahaya bagi orang-orang," ungkap Marx.
Sedangkan Uskup Agung di Brisbane, Mark Coleridge, mengklaim bahwa ia mengetahui adanya "penumpukan" kasus yang telah dirujuk ke penyelidik di Vatikan, termasuk beberapa kasus itu berasal dari Australia. "Saya tahu ada sesuatu yang menjadi hambatan ... dalam arti saya pikir mereka telah kebanjiran kasus, mereka telah meminta semua kasus ini dilaporkan ke Roma," akunya.
Salah satu pidato yang paling banyak mendapat perhatian dalam pertemuan Paus tentang perlindungan anak di bawah umur, disampaikan oleh salah satu dari sedikit wanita yang diundang untuk berpartisipasi dalam acara itu.
Suster Veronica Openibo, biarawati dari Nigeria, menegaskan bahwa Gereja Katolik harus bertanggungjawab atas kegagalannya. "Kita harus mengakui bahwa keadaan biasa-biasa saja, kemunafikan, dan rasa puas diri kita telah membawa kita ke tempat yang memalukan dan tidak bermartabat yang kita kenal sebagai gereja," serunya.
Dia juga mengecam gereja, karena telah berlindung dibalik citra sebagai "penjaga standar moral" ketika kasus-kasus pelecehan seksual anak justru disembunyikan dari muka dunia.
Kisah-kisah tentang wanita yang telah mengalami pelecehan seksual di gereja menjadi terang benderang, termasuk pemerkosaan para biarawati.
Openibo menggarisbawahi bahwa ada "diskriminasi gender dan peran perempuan telah diabaikan di gereja."
Pada pembukaan KTT itu, seorang wanita tak dikenal asal Afrika menceritakan kisahnya kepada para uskup dan menyampaikan, dia dihamili sebanyak tiga kali oleh seorang pemuka agama yang memperkosanya selama 13 tahun.
"Saya merasa hidup saya hancur," kenangnya sembari berurai air mata.
Di samping itu, jurnalis veteran Vatikan, Valentina Alazraki, juga berpidato kepada para uskup bahwa media akan terus menjadi "mimpi terburuk" gereja jika mereka tidak segera menangani krisis ini.
"Laporkan hal-hal (pelecehan seksual) ketika Anda mengalaminya. Itu adalah satu-satunya cara, jika Anda ingin masyarakat mempercayai gereja ketika Anda mengatakan 'mulai sekarang kita tidak akan lagi mentolerir dan menutup-nutupi'," tegasnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Italia Dinilai Lamban
Berkali-kali selama berlangsungnya KTT Uskup pada akhir pekan ini di Roma, seorang korban pelecehan seksual anak bernama Alessandro Battaglia, mengutarakan kenangannya mengenai kejadian nahas yang dialaminya.
Dia berusia 15 tahun ketika seorang pendeta melecehkannya, dan pria itu baru-baru ini dinyatakan bersalah di pengadilan Italia.
Dari Milan, Alessandro Battaglia datang ke Roma untuk bertemu dengan para penyintas korban pelecehan imam gereja lainnya, untuk memprotes respons gereja terhadap krisis pelecehan seksual di kalangan gereja di Italia.
"Mereka ingin mengutamakan reputasi mereka dibandingkan kehidupan anak-anak. Ini cara hidup para kriminal," ucapnya.
Pria berusia 23 tahun itu mengatakan, pemerintah Italia lamban untuk mengambil tindakan karena ikatan mendalam Italia dengan Gereja Katolik Roma. "Kondisi penangan kasus ini berbeda di Italia karena kami memiliki Vatikan di sini," menurutnya.
Di sela-sela pertemuan puncak itu, ratusan umat Katolik datang ke Roma untuk mendesak Paus Fransiskus agar melibatkan lebih banyak orang awam dan perempuan dalam pengambilan keputusan.
Wanita-wanita Amerika dari Gerakan Pekerja Katolik berziarah untuk mendoakan para penyintas, termasuk Claire Schaeffer-Duffy dari Massachusetts.
"Ini adalah isyarat iman sebagai penyintas untuk berada di sini dan mengatakan kepada gereja Anda harus menghadapi ini," pungkasnya. "Karena jika anda tidak memiliki keyakinan anda tidak akan datang, anda akan mengatakan lupakan mereka bahwa mereka hanya nasib buruk, saya akan pergi."
0 Comments:
Post a Comment