Liputan6.com, Magelang - Canguk? Ini dia sosok hantu Jawa yang tak populer. Tingkat popularitasnya jauh ada di bawah kuntilanak, genderuwo, pocongan. Tapi hantu ini sempat menjadi primadona di kawasan sungai Blongkeng.
Sungai Blongkeng adalah sebuah sungai yang berhulu di gunung Merapi dan bermuara di laut kidul setelah menyatu dengan sungai Elo dan Progo. Nah sosok canguk ini biasa ditemukan di spot-spot mancing yang banyak ikannya.
Pramono, salah satu warga di bantaran kali Blongkeng, Muntilan Kabupaten Magelang bercerita bahwa ia pernah mendengar dongeng tentang hantu canguk ini.
"Yang bercerita mbah Amat saat masih muda," katanya.
Menurut Pramono, mbah Amat ini saat masih muda sangat gemar menangkap ikan dengan cara memancing. Ia selalu berpamitan kepada istrinya untuk memancing, dengan dalih mencari lauk.
"Saat itu sebelum tahun 1965. Lauk menjadi sangat mahal dan masyarakat sini mengandalkan ikan di sungai sebagai lauk," kata Pramono.
Suatu malam, mbah Amat berpamitan kepada istrinya seperti biasa. Tujuannya langsung ke sungai Blongkeng. Ia biasanya mancing di bawah jembatan jalan raya Yogya-Magelang.
"Anehnya, baru saja duduk, ikan-ikan sudah berlompatan. Mbah Amat langsung menyiapkan joran dan perangkat memancingnya. Benar nggak sampai lima menit, jorannya berkedut," kata Pramono.
Dari peristiwa itu, kisah hantu baik hati ini dimulai.
Sungai Blongkeng berair sangat jernih karena airnya bercampur pasir dan bebatuan dari gunung Merapi. Ikan yang paling banyak jenisnya adalah Tombro. Ini adalah sejenis ikan mas namun beda dengan ikan mas hias. Nama keren dalam ilmu Biologi disebut Cyprinus Carpio.
"Canguk!"
Nyaris belum sampai seperempat jam, mbah Amat sudah mendapatkan ikan tombro banyak sekali. Cukup untuk lauk tiga hari lebih. Maka mbah Amat kemudian berhenti memancing dan menyalakan rokok klembak menyan.
Rokok klembak menyan adalah semacam rokok lisong yang diberi campuran akar tanaman klembak (Rheum officinale L.) yang biasa digunakan untuk pengobatan sembelit dan membantu mengatasi penggumpalan darah dan nanah. Selain itu dicampur dengan getah dari pohon kemenyan atau getah tanaman Boswellia. Kemenyan banyak digunakan sebagai obat radang gusi, mulut, ataupun sakit gigi.
"Mas, nyuwun gramane. (Mas minta apinya)," tiba-tiba mbah Amat disapa seseorang di belakangnya.
Tanpa menoleh, ia langsung menyodorkan korek api. Ia lalu asyik membenahi ikan-ikan tombro yang didapatnya.
"Matur nuwun nggih. (Terima kasih ya)," suara tadi mengucap terima kasih sambil menyentuh tengkuknya.
Dinginnya luar biasa. Mbah Amat mau tak mau menoleh. Ia menemukan seorang laki-laki yang sebaya dirinya juga tengah asyik merokok klembak menyan.
"Sampun kathah kok mboten kondur. (Sudah banyak kok nggak pulang)," kata lelaki asing tadi.
Kembali mbah Amat menoleh. Ia kaget, sosok tadi tiba-tiba berubah menjadi besar. karena takut ia memandang ke arah gunung Merapi. Tapi rasa penasaran membuatnya ingin kembali menoleh.
"Canguk!" seru mbah Amat.
"Nggih mas. (Iya mas)," jawab sosok tadi yang makin lama makin membesar.
Mbah Amat langsung mengambil tempat ikan, ia lari meninggalkan Canguk itu. Sandal Lily kebanggaannya tertinggal. Ia terus berlari menuju rumahnya. Di sebuah tikungan tiba-tiba ia menumbuk benda kenyal yang sangat dingin.
"Mboten usah mlajar. Kula mboten ngganggu. Namung kok sampeyan mboten matur nuwun. (Nggak usah lari. Saya kan nggak ngganggu. Tapi anda kok nggak berterima kasih)?" suara lembut datang dari benda yang ditumbuk itu. Ternyata perut Canguk itu.
"Oh nggih matur nuwun. Matur nuwun. (Oh iya. Terima kasih. Terima Kasih)," kata mbah Amat terbata.
Setelah mbah Amat mengucapkan terima kasih, Canguk itu menghilang dan dari kejauhan terdengar suara azan subuh.
Simak video pilihan berikut:
Jadi Taman, Canguk Menghilang
Menurut Pramono, Canguk memang tak mengganggu. Ia justru menemani setiap pemancing dan yang ditemani biasanya akan mendapatkan hasil yang sangat banyak.
"Saya nggak tahu. Mungkin itu jenis lelembut kesepian," katanya.
Lalu masih adakah Canguk itu sekarang?
Pramono memastikan tidak ada. Ia beberapa kali mancing di air terjun bawah jembatan, tempat mbah Amat dulu memancing. Belum pernah sekalipun ia melihat keanehan. Hanya kadang-kadang memang bulu kuduknya berdiri.
"Saya biasanya terus melihat ke arah Merapi. Sering terlihat guguran lava pijar. Dilihat dari jembatan Blongkeng jelas sekali. Tapi Canguk itu tetap tak ada. Sama seperti ikan-ikan tombro yang menghilang," katanya.
Kini jembatan Blongkeng sudah ditata menjadi sangat indah. Bantaran sungai yang tadinya rawan longsor jika banjir lahar, sudah dibuat menjadi sebuah taman. Para pemancing juga tetap ada. Namun jarang yang bisa mendapatkan ikan tombro.
0 Comments:
Post a Comment