Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) tetap menjadi andalan saat beban puncak.
Sebab itu tidak ada penurunan kapasitas pembangunan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM), Andy Noorsaman Sommeng mengatakan, pembangkit yang menjadi andalan untuk memenuhi beban puncak harus memiliki karakter bisa dengan cepat mengalirkan listrik. Hal ini ada pada PLTG yang stabil dalam menghasilkan pasokan listrik.
"Peaker itu justru harus cepat, begitu turun (daya) langsung cepat naik lagi," kata Andy, di Jakarta, Jumat (25/1/2019).
Andy melanjutkan, pemilihan PLTG sebagai andalan pemasok listrik saat beban puncak juga dapat mengurangi penggunaan pembangkit dengan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Ini sebab jika mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) tidak bisa memasok listrik dengan cepat.
"Karena isinya nanti bagaimana? apakah EBT bisa secepat itu, energi primer tekan BBM, kan harus diturunin terus, kalau BBM turun gas turun bagaimana?, batu bara ramping time lama, masaknya lama, kecuali ada PLTU yg ramping time cepat dalam sekian menit. Nah itu oke sama kaya gas," ujar dia.
Andy menuturkan, dengan karakter PLTG yang bisa cepat mengalirkan listrik, target jumlah PLTG yang beroperasi tidak diubah dalam RUPTL 2019 -2028, sehingga porsi penggunaan bakar dalam target bauran energi.
"22 persen tetap, tadinya mau turun tapi enggak jadi tetap stabil," kata dia.
PLTG Portabel Jeranjang Tunggu Kepastian Pasokan Gas
Sebelumnya, Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) portabel atau Mobil Power Plant(MPP) Jeranjang Nusa Tenggara Barat (NTB), masih menantikan pasokan gas. Saat ini untuk mengoperasikan pembangkit tersebut menggunakan bahan bakar High Speed Diesel (HSD).
Deputi Manajer Operasi Pembangkit PLN Wilayah NTB, Kurniawan mengatakan, saat ini listrik dari PLTG MPP sudah masuk dalam sistem kelistrikan Lombok. Namun karena masih menggunakan HSD maka pengoperasianya masih digunakan saat beban puncak saja.
"Kami beroperasi dulu support penyediaan listrik, sementara kita operasikan di peaker saja, jadi ini sebagai follower saja," kata Kurniawal, dikutip di Jakarta, Kamis 13 September 2018.
Menurut dia, pembangkit tersebut terpaksa menggunakan bahan bakar solar karena belum mendapat pasokan gas. Dia memastikan pembangkit berkapasitas 2 X 25 Mega Watt (MW) tersebut sudah mendapat pasokan gas pada 2019. "Saat ini beroperasi masih HSD, gas menunggu 2019," tutur dia.
Dia mengungkapkan, setelah beroperasi dengan energi gas, pembangkit tersebut akan berubah fungsi menjadi pembangkit utama untuk melistriki Lombok. Dengan demikian PLTG ini tidak lagi beroperasi saat beban puncak saja.
"Nanti setelah gas masuk kita jadikan base load. Saat ini kita optimalkan batubara dan hydro," dia menambahkan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
0 Comments:
Post a Comment