Liputan6.com, Bogor - - "Angin teka mriki ngawa woh asem, asem iki kanggo kanjeng ibu, dadi duit kanggo aku syarat anggota perpustakaan (Angin datanglah dengan lebat, jatuhkanlah buah asem dan asem itu buat saya persembahkan kepada ibu agar saya punya uang untuk jadi anggota perpustakaan)"
Sekuat tenaga Kiswanti memekik mantra di lapangan dekat sekolah di kampungnya, Bantul, Yogyakarta. Bukan tanpa alasan dia meminta alam membantu mengabulkan keinginannya tersebut.
Pahit getir dirasakan perempuan 55 tahun itu menempuh pendidikan semasa kecil. Kemiskinan membuat dia tidak bisa menikmati sekolah layaknya anak seusianya. Pendidikan hanya bisa diakses untuk orang berduit. Mereka yang tidak punya uang, jangan harap bisa menikmati pendidikan kala itu.
Jurang kemiskinan rupanya bukan masalah bagi Kiswanti. Atas restu alam, Kiswanti pun bersekolah tanpa harus membayar sepeser biaya. Jangan bayangkan bangunan sekolah tempat Kiswanti seperti sekolah pada umumnya.
Sekolahnya kala itu masih menumpang di rumah-rumah warga dengan dinding bambu. Sehingga Kiswanti bisa mengikuti pelajaran dari sela-sela dinding bambu. Kala ujian, Kiswanti kerap membisiki seorang murid dari luar kelas.
"Teman yang selalu dapat bisikan dapat nilai terbagus dan itu ducurigai guru dan ketahuanlah, dari situ saya diperbolehkan sekolah," kisah Kiswanti, kala berbincang dengan Liputan6.com dan beberapa jurnalis London dalam rangkaian market focus Country di London Book Fair (LBF) 2019.
Mimpi Selanjutnya
Mimpi pertama tercapai. Mimpi selanjutnya mengikuti; menjadi anggota perpustakaan. Lagi-lagi, tidak gratis untuk menjadi anggota perpustakaan, berbayar Rp 2,5. Sampai akhirnya Kiswanti merapal mantra di bawah pohon asem agar meminta alam turun tangan membantu dirinya.
"Rupanya hal yang tidak wajar ini sering dilihat guru saya, saya akhirnya diperbolehkan jadi anggota perpustakaan dengan syarat," kata Kiswanti.
Kiswati menikmati menjadi anggota perpustakaan dengan syarat membantu administrasi keluar-masuk buku. Waktu berlalu sampai akhirnya Kiswanti lulus SD pada tahun 1980. Untuk melanjutkan jenjeng pendidikan berikutnya, Kiswanti pasrah.
Meski tidak melanjutkan sekolah, Kiswanti tetap melanjutkan membaca dari buku sumbangan. Sampai pada 1987 tak terasa Kiswanti telah mengumpulkan 1.500-an buku.
Tahun itu pula dia memilih pindah ke Jakarta menjadi asisten rumah tangga. Majikannya adalah warga Belanda dan Filipina. Kesepakatan antara dia dan majikannya bahwa kelak gaji yang akan dia terima adalah dalam bentuk buku.
"Dari bekerja 3 bulan saya dapat 55 eksemplar buku," tutur Kiswanti.
Tahun itu dia bertemu dengan pria yang meminangnya, Ngadmi. Namun, dia memberikan sejumlah syarat agar mimpinya untuk memiliki perpustakaan tetap berjalan.
"Saya punya syarat, siapa pun yang mau menikahi saya boleh bekerja, hasil kerja saya untuk membeli buku untuk mendirikan perpustakaan gratis," beber Kiswanti.
"Kedua, pekerjaan mengasuh anak tidak hanya dominan perempuan, tapi suami harus ikut terlibat, tidak ada perceraian kecuali kematian, keempat tidak ada perselingkuhan," dia menambahkan.
Awal Baru di Parung
Kiswanti terus bekerja sambil terus mengumpulkan buku. Sampai pada 1994 dia dan suaminya memutuskan pindah ke Parung, Kabupaten Bogor. Tepatnya, Jalan Kamboja, Kampung Lebakwangi, RT 01/01, Desa Pamegarsari.
Tempat baru yang dia diami bersama suaminya seolah membawa ke memori masa kecilnya. "Anak-anak perempuan di sini tidak boleh bersekolah, bukan karena miskin tapi pemahaman wanita itu di belakang," kata Kiswanti.
Desa yang ditempatinya belum memiliki akses jalan dan penerangan seadanya. Akhirnya dia tergerak untuk mengajak anak-anak di kampung tersebut untuk pelan-pelan mengenal buku. Caranya, dia berkeliling membawa jamu dan buku.
"Yang mau sehat minum jamu, yang mau pintar baca buku," kata dia menirukan ucapannya kala berjualan jamu.
Rutinitas itu berlanjut. Buku yang dibawa adalah buku anak-anak dan dongeng. Dia punya siasat bagaimana untuk memancing anak-anak membaca. Terkadang, ketika dia bercerita, dia tidak akan menuntaskan cerita yang ada di dalam buku.
Kiswanti mempersilakan anak-anak tersebut untuk datang ke rumahnya setiap Sabtu dan Minggu. Di luar dugaan, puluhan anak-anak di Parung menyerbu rumahnya. Semakin hari semakin bertambah. Kiswanti dan sang suami pun bertanggung jawab untuk menambah koleksi buku-buku mereka.
Keahlian membuat jamu kunyit asem menjadi modal Kiswanti untuk menambah operasional perpustakaan. Dari penjualan jamu dia akan membelikan buku-buku baru sebagai koleksi perpustakaan gratisnya.
Tiga tahun berjalan, Kiswanti meluaskan berjualan jamu dengan membeli sepeda ontel. Boncengan sepeda dia modifikasi untuk menaruk keranjang buku.
21 tahun berjalan, Taman Bacaan Masyarakat Warabal berdiri. Tidak hanya anak-anak, warga sekitar pun mulai diberdayakan dengan program-program literasi, koperasi simpan pinjam, dan bank sampah.
"Hanya dipinjam untuk pendidikan, kesehatan, dan pengembangan usaha. Bahkan orang miskin pun bisa ikut serta dengan menabung di bank sampah," kata Kiswanti.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
0 Comments:
Post a Comment